Kamis, 01 Oktober 2009

Nasehat Untuk Para Teroris



 

Penulis : Ustadz Sofyan Chalid 

 

(Disertai Peringatan: Cadar, Celana Ngatung dan Janggut Bukan Ciri-ciri Teroris) 

 

Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala kita mengadukan segala fitnah dan ujian yang mendera, akibat ulah 

sekolompok anak muda yang hanya bermodalkan semangat belaka dalam beragama namun tanpa disertai kajian 

ilmu syar‟i yang mendalam dari al-Qur‟an dan as-Sunnah serta bimbingan para Ulama, kini ummat Islam secara 

umum dan Ahlus Sunnah (orang-orang yang komitmen dengan Sunnah Rasulullah shallallahu‟alaihi wa sallam) secara 

khusus harus menanggung akibatnya berupa celaan dan citra negatif sebagai pendukung terorisme. 

Aksi-aksi terorisme yang sejatinya sangat ditentang oleh syari‟at Islam yang mulia ini justru dianggap sebagai bagian 

dari jihad di jalan Allah, sehingga pelakunya digelari sebagai mujahid, apabila ia mati menjadi syahid, pengantin 

surga dan calon suami bidadari... 

Demi Allah, akal dan agama mana yang mengajarkan terorisme itu jihad...?! Akal dan agama mana yang 

mengajarkan buang bom di sembarang tempat itu amal saleh...?! 

Maka berikut ini kami akan menunjukkan beberapa penyimpangan terorisme dari Syari‟at Islam dan menjelaskan 

beberapa hukum jihad syar‟i yang diselisihi para Teroris, berdasarkan al-Qur‟an dan as-Sunnah serta keterangan para 

Ulama Ahlus Sunnah wal Jama‟ah para pengikut generasi Salaf (generasi Sahabat Rasulullah shallallahu‟alaihi wa 

sallam). 

 

Pelanggaran- pelanggaran hukum Jihad Islami yang dilakukan Teroris: 

Pelanggaran Pertama: Tidak memenuhi syarat-syarat Jihad Islami 

Jihad melawan orang kafir terbagi dua bentuk; jihad difa‟ (defensif, membela diri) dan jihad tholab (ofensif, memulai 

penyerangan lebih dulu), adapun yang dilakukan oleh para Teroris tidak diragukan lagi adalah jihad ofensif, sebab 

jelas sekali mereka yang lebih dulu menyerang, bahkan menyerang orang yang tidak bersenjata. 

Dalam jihad defensif, ketika ummat Islam diserang oleh musuh maka kewajiban mereka untuk membela diri tanpa 

ada syarat-syarat jihad yang harus dipenuhi (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah hal. 532 

dan Al-Fatawa Al-Kubrô 4/608). 

Namun untuk ketegori jihad ofensif terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum melakukan jihad 

tersebut. Disinilah salah satu perbedaan mendasar antara jihad dan terorisme. Bahwa jihad terikat dengan aturan- 

aturan yang telah ditetapkan Allah Ta‟ala dalam syari‟at-Nya, sedangkan terorisme justru menerjang aturan-aturan 

tersebut. Maka inilah syarat-syarat jihad ofensif kepada orang-orang kafir yang dijelaskan para Ulama: 

Syarat Pertama: Jihad tersebut dipimpin oleh seorang kepala negara 

Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu „anhu, Rasulullah shollallahu „alaihi wa „ala alihi wa sallam bersabda: 

 ٌتَُّْج ًُاٍَِْ 

لْا اَََِّّإَٗ ِّٜاَصَػ ْدَقَف َسٍَِْٞ 

لْا ِصْؼَٝ ٍََِْٗ َِْٜػاَطَأ ْدَقَف َسٍَِْٞ 

لْا ِغِطُٝ ٍََِْٗ ََّٔيىا َٚصَػ ْدَقَف ِّٜاَصَػ ٍََِْٗ ََّٔيىا َعاَطَأ ْدَقَف َِْٜػاَطَأ ٍَِْ 

ِِٔب َٚقَّتَُٝٗ ِِٔئاَزَٗ ٍِِْ ُوَتاَقُٝ 

“Siapa yang taat kepadaku maka sungguh ia telah taat kepada Allah, dan siapa yang bermaksiat terhadapku maka 

sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada pemimpin maka sungguh ia telah taat 

kepadaku, dan siapa yang bermaksiat kepada pemimpin maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku. Dan 

sesungguhnya seorang pemimpin adalah tameng, dilakukan peperangan dibelakangnya, dan dijadikan sebagai 

pelindung.” (HR. Al-Bukhary no. 2957 (konteks di atas milik Al-Bukhary), Muslim no. 1835, 1841, Abu Daud no. 2757 

dan An-Nasa`i 7/155). 

Berkata al-Imam an-Nawawy rahimahullah, “Dan makna “dilakukan peperangan dibelakangnya” yaitu dilakukan 

peperangan bersamanya melawan orang-orang kafir, Al-Bughôt (para pembangkang terhadap penguasa), kaum 

khawarij dan seluruh pengekor kerusakan dan kezholiman.” (Syarah Muslim 12/230). 

Syarat Kedua: Jihad tersebut harus didukung dengan kekuatan yang cukup untuk menghadapi musuh. Sehingga 

apabila kaum Muslimin belum memiliki kekuatan yang cukup dalam menghadapi musuh, maka gugurlah kewajiban 

tersebut dan yang tersisa hanyalah kewajiban untuk mempersiapkan kekuatan 

Allah Subhânahu wa Ta‟âlâ menegaskan : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian 

sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan 

musuh Allah dan (yang juga) musuh kalian serta orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; 

sedang Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Anfâl : 60) 

Diantara dalil akan gugurnya kewajiban jihad bila tidak ada kemampuan, adalah hadits An-Nawwâs bin Sam‟ân 

radhiyallâhu „anhu tentang kisah Nabi „Isâ „alaissalâm membunuh Dajjal…, kemudian disebutkan keluarnya Ya`jûj 

dan Ma`jûj, 

َٚسِْٞػ َٚىِإ 

ُ 

الله َٚدَْٗأ ْذِإ ،َلِىَرَم َُٕ٘ اََََْْٞبَف 

 : 

 َُّٔيىا ُجَؼْبََٝٗ ِزُّْ٘طىا َٚىِإ ِْٛداَبِػ ْشِّسَذَف ،ٌِِْٖىاَتِقِب ٍدَدَِ 

لْ ُِاَدَٝ َ 

لَ ِْٜى ًاداَبِػ ُتْجَسْخَأ ْدَق ِِّّْٜإ 

َُُ٘يِسَْْٝ ٍبَدَد ِّوُم ٍِِْ ٌَُْٕٗ َدُْ٘جْأٍََٗ َدُْ٘جْأَٝ … 

“…Dan tatkala (Nabi „Isâ) dalam keadaan demikian, maka Allah mewahyukan kepada (Nabi) „Isâ, “Sesungguhnya Aku 

akan mengeluarkan sekelompok hamba yang tiada tangan (baca: kekuatan) bagi seorangpun untuk memerangi 

mereka, maka bawalah hamba-hamba- Ku berlindung ke (bukit) Thûr.” Kemudian Allah mengeluarkan Ya`jûj dan 

Ma`jûj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi….” (HR. Muslim no. 2937 dan Ibnu Majah 

no. 4075). 

Perhatikan hadits ini, tatkala kekuatan Nabi „Isâ „alaissalâm dan kaum muslimin yang bersama beliau waktu itu lemah 

untuk menghadapi Ya`jûj dan Ma`jûj, maka Allah tidak memerintah mereka untuk mengobarkan peperangan dan 

menegakkan jihad bahkan mereka diperintah untuk berlindung ke bukit Thûr. 

Demikian pula, ketika Nabi shallallahu‟alaihi wa sallam dan para Sahabat masih lemah di Makkah, Allah Ta‟ala 

melarang kaum Muslimin untuk berjihad, padahal ketika itu kaum Muslimin mendapatkan berbagai macam bentuk 

kezhaliman dari orang-orang kafir. 

Berkata Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Dan beliau (Nabi shollallâhu „alaihi wa „alâ âlihi wa sallam) 

diperintah untuk menahan (tangan) dari memerangi orang-orang kafir karena ketidakmampuan beliau dan kaum 

muslimin untuk menegakkan hal tersebut. Tatkala beliau hijrah ke Madinah dan mempunyai orang-orang yang 

menguatkan beliau, maka beliaupun diizinkan untuk berjihad.” (Al-Jawâb Ash-Shohîh 1/237). 

Syarat Ketiga: Jihad tersebut dilakukan oleh kaum Muslimin yang memiliki wilayah kekuasaan 

Perkara ini nampak jelas dari sejarah Rasulullah shallallahu‟alaihi wa sallam, bahwa Beliau diizinkan berjihad oleh 

Allah Subhanahu wa Ta‟ala ketika telah terbentuknya satu kepemimpinan dengan Madinah sebagai wilayahnya dan 

beliau sendiri sebagai pimpinannya. 

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi 

shollallahu„alaihi wa „ala alihi wa sallam ke Madinah menurut kesepakatan para ulama.” (Fathul Bari 6/4-5 dan Nailul 

Authar 7/246-247). 

Demikianlah syarat-syarat jihad dalam syari‟at Islam. Adapun dari sisi akal sehat, bahwa tujuan jihad adalah untuk 

meninggikan agama Allah Ta‟ala sehingga Islam menjadi terhormat dan berwibawa di hadapan musuh, hal ini tidak 

akan tercapai apabila tidak dipersiapkan dengan matang dengan suatu kekuatan, persiapan dan pengaturan yang 

baik. Maka ketika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, sebagaimana dalam aksi-aksi terorisme, hasilnya justru bukan 

membuat Islam menjadi tinggi, malah memperburuk citra Islam, sebagaimana yang kita saksikan saat ini. 

 

Pelanggaran Kedua: Memerangi orang kafir sebelum didakwahi dan ditawarkan apakah memilih Islam, membayar 

jizyah atau perang 

Pelanggaran ini menunjukkan kurangnya semangat para Teroris untuk mengusahakan hidayah kepada manusia dan 

semakin jauh dari tujuan jihad itu sendiri, padahal hakekat jihad hanyalah sarana untuk menegakkan dakwah kepada 

Allah Ta‟ala. 

Ini juga merupakan bukti betapa jauhnya mereka dari pemahaman yang benar tentang jihad, sebagaimana tuntunan 

Nabi shallallahu‟alaihi wa sallam kepada para Mujahid yang sebenarnya, yaitu para Sahabat radhiyallahu „anhum. 

Dalam hadits Buraidah radhiyallâhu „anhu, beliau berkata: 

 ََِِِْٞيْسَُْىا ٍِِْ َُٔؼٍَ ٍََِْٗ ِ 

الله َْٙ٘قَتِب ِِٔتَّصاَخ ِْٜف ُٓاَصَْٗأ ٍتَِّٝسَس َْٗأ ٍشَْٞج َٚيَػ اًسٍَِْٞأ َسٍََّأ اَذِإ ٌََّيَسَٗ ِِٔىآَٗ َِْٔٞيَػ 

ُ 

الله َّٚيَص ِ 

الله ُهُْ٘سَز َُاَم 

 َكَُّٗدَػ َتِْٞقَى اَذِإَٗ اًدِْٞىَٗ اُْ٘يُتْقَت َلََٗ اُْ٘يِّخََُت َلََٗ اُْٗزِدْغَت َلََٗ اُّْ٘يُغَت َلََٗ اُْٗصْغُأ ِ 

للهاِب َسَفَم ٍَِْ اُْ٘يِتاَق ِ 

الله ِوِْٞبَس ِْٜف ِ 

الله ٌِْساِب اُْٗصْغُأ َهاَق ٌَُّح اًسَْٞخ 

 ٌٍُِْْْٖ ْوَبْقاَف َكُْ٘باَجَأ ُِْإَف ًَِلاْسِْ 

لْا َٚىِإ ٌُُْٖػْدا ٌَُّح ٌَُْْْٖػ َّفُمَٗ ٌٍُِْْْٖ ْوَبْقاَف َكُْ٘باَجَأ اٍَ َُُِّٖتََّٝأَف ٍهاَصِخ ِثَلاَح َٚىِإ ٌُُْٖػْداَف َِِْٞمِسْشَُْىا ٍَِِ 

ٌُْْٖيِتاَقَٗ ِ 

للهاِب ِِْؼَتْساَف اَْ٘بَأ ٌُْٕ ُِْإَف ٌَُْْْٖػ َّفُمَٗ ٌٍُِْْْٖ ْوَبْقاَف َكُْ٘باَجَأ ٌُْٕ ُِْإَف َتَْٝصِجْىا ٌُُْٖيَسَف اَْ٘بَأ ٌُْٕ ُِْإَف ٌَُْْْٖػ َّفُمَٗ 

“Adalah Rasulullah shollallahu „alaihi wa âlihi wa salllam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau 

memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat pada) orang-orang yang 

Wahyu Kresna El Haidar | http://elfaruq.wordpress.com 3 

 

bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata, “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, 

bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan 

janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsîl (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah 

membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka 

kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah 

(tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka 

dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan 

apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka 

menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”. (HR. Muslim no. 1731, Abu Dâud no. 

2613, At-Tirmidzy no. 1412, 1621, An-Nasâ`i dalam As-Sunan Al-Kubrô no. 8586, 8680, 8765, 8782 dan Ibnu Mâjah 

no. 2857, 2858). 

 

Pelanggaran Ketiga: Membunuh orang Muslim dengan sengaja 

Kami katakan bahwa mereka sengaja membunuh orang Muslim yang tentu sangat mungkin berada di lokasi 

pengeboman karena jelas sekali bahwa negeri ini adalah negeri mayoritas Muslim, dan mereka sadar betul di sini 

bukan medan jihad seperti di Palestina dan Afganistan, bahkan mereka tahu dengan pasti kemungkinan besar akan 

ada korban Muslim yang meninggal. 

Tidakkah mereka mengetahui adab Rasulullah shallallahu‟alaihi wa sallam sebelum menyerang musuh di suatu 

daerah?! Disebutkan dalam hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu „anhu: 

 ٌَْى ُِْإَٗ ٌَُْْْٖػ َّفَم اًّاَذَأ َغََِس ُِْإَف َسُظََْْٝٗ َخِبْصُٝ َّٚتَد اَِْب ُْٗصْغَٝ ُِْنَٝ ٌَْى اًٍَْ٘ق اَِْب اَصَغ اَذِإ َُاَم ٌََّيَسَٗ ِِٔىآ َٚيَػَٗ َِْٔٞيَػ 

ُ 

الله َّٚيَص َِّٜبَّْىا ََُّأ 

ٌَِْْٖٞيَػ َزاَغَأ اًّاَذَأ ْغََْسَٝ 

“Sesungguhnya Nabi shollallâhu „alaihi wa „alâ âlihi wa sallam apabila bersama kami untuk memerangi suatu kaum, 

beliau tidak melakukan perang tersebut hingga waktu pagi, kemudian beliau menunggu, apabila beliau mendengar 

adzan maka beliau menahan diri dari mereka dan apabila beliau tidak mendengar adzan maka beliau menyerang 

mereka secara tiba-tiba. ”(HR. Al-Bukhâri no. 610, 2943, Muslim no. 382, Abu Daud no. 2634, dan At-Tirmidzy no. 

1622). 

Tidakkah mereka mengetahui betapa terhormatnya seorang Muslim itu?! Tidakkah mereka mengetahui betapa besar 

kemarahan Allah Ta‟ala atas pembunuh seorang Muslim?! 

Allah Ta‟ala berfirman: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu‟min dengan sengaja, maka balasannya ialah 

Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar 

baginya”. (QS. An-Nisâ` : 93) 

Dan Nabi shollallahu „alaihi wa „ala alihi wa sallam menegaskan: 

ٌٍِيْسٍُ ٍوُجَز ِوْتَق ٍِِْ ِ 

الله َٚيَػ ََُُْٕ٘أ اَُّّْٞدىا ُهاََٗصَى 

“Sungguh sirnanya dunia lebih ringan di sisi Allah dari membunuh (jiwa) seorang muslim.” (Hadits Abdullah bin „Amr 

radhiyallahu „anhuma riwayat At-Tirmidzy no. 1399, An-Nasa`i 7/ 82, Al-Bazzar no. 2393, Ibnu Abi „ashim dalam Az- 

Zuhd no. 137, Al-Baihaqy 8/22, Abu Nu‟aim dalam Al-Hilyah 7/270 dan Al-Khathib 5/296. Dan dishohihkan oleh 

Syaikh Al-Albany rahimahullah dalam Ghayatul Maram no. 439). 

 

Pelanggaran Keempat: Membunuh orang kafir tanpa pandang bulu 

Inilah salah satu pelanggaran Teroris dalam berjihad yang menunjukkan pemahaman mereka yang sangat dangkal 

tentang hukum-hukum agama dan penjelasan para Ulama. 

Ketahuilah, para Ulama dari masa ke masa telah menjelaskan bahwa tidak semua orang kafir yang boleh untuk 

dibunuh, maka pahamilah jenis-jenis orang kafir berikut ini: 

Pertama, kafir harbiy, yaitu orang kafir yang memerangi kaum Muslimin, inilah orang kafir yang boleh untuk dibunuh. 

Kedua, kafir dzimmy, yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum Muslimin, tunduk dengan aturan-aturan yang ada 

dan membayar jizyah (sebagaimana dalam hadits Buraidah di atas), maka tidak boleh dibunuh. 

Ketiga, kafir mu‟ahad, yaitu orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum Muslimin untuk tidak saling berperang, 

selama ia tidak melanggar perjanjian tersebut maka tidak boleh dibunuh. 

Keempat, kafir musta‟man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum Muslimin, atau sebagian 

kaum Muslimin, maka tidak boleh kaum Muslimin yang lainnya untuk membunuh orang kafir jenis ini. Dan termasuk 

Wahyu Kresna El Haidar | http://elfaruq.wordpress.com 4 

 

dalam kategori ini adalah para pengunjung suatu negara yang diberi izin masuk oleh pemerintah kaum Muslimin 

untuk memasuki wilayahnya. 

Banyak dalil yang melarang pembunuhan ketiga jenis orang kafir di atas, bahkan terdapat ancaman yang keras 

dalam sabda Rasulullah shollallahu „alaihi wa alihi wa sallam: 

اًٍاَػ َِِْٞؼَبْزَأ ِةَسِْٞسٍَ ٍِِْ ُدَجُْ٘ت اََٖذِْٝز َُِّإَٗ ِتََّْجْىا َتَذِئاَز ْحَسَٝ ٌَْى اًدَٕاَؼٍُ َوَتَق ٍَِْ 

“Siapa yang membunuh kafir mu‟ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium 

dari perjalanan empat puluh tahun”. (HR. Al-Bukhary no. 3166, 6914, An-Nasa`i 8/25 dan Ibnu Majah no. 2686). 

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bahwa kata mu‟ahad dalam hadits di atas mempunyai cakupan yang 

lebih luas. Beliau berkata, “Dan yang diinginkan dengan (mu‟ahad) adalah setiap yang mempunyai perjanjian dengan 

kaum muslimin, baik dengan akad jizyah (kafir dzimmy), perjanjian dari penguasa (kafir mu‟ahad), atau jaminan 

keamanan dari seorang muslim (kafir musta‟man).” (Fathul Bary 12/259). 

(Disarikan dari buku Meraih Kemuliaan melalui Jihad Bukan Kenistaan, karya Al-Ustadz Dzulqarnain hafizhahullah. 

Semua dalil, takhrij hadits dan perkataan Ulama di atas dikutip melalui perantara buku tersebut, jazallahu muallifahu 

khairon). 

 

Peringatan: Cadar, Celana Ngatung dan Janggut bukan Ciri-ciri Teroris 

Ketahuilah wahai kaum Muslimin, menggunakan cadar bagi wanita muslimah, mengangkat celana jangan sampai 

menutupi mata kaki dan membiarkan janggut tumbuh bagi seorang laki-laki Muslim adalah kewajiban agama dan 

tidak ada hubungannya sama sekali dengan terorisme, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti bukti-buktinya 

insya Allah dari al-Qur‟an dan as-Sunnah serta penjelasan para Ulama ummat. 

Benar bahwa sebagian Teroris juga mengamalkan kewajiban-kewajiban di atas, namun apakah setiap yang 

mengamalkannya dituduh Teroris?! Kalau begitu bersiaplah menjadi bangsa yang teramat dangkal pemahamannya… 

Maka inilah keterangan ringkas yang insya Allah dapat meluruskan kesalah pahaman. 

 

Pertama: Dasar kewajiban menggunakan cadar bagi Muslimah 

Firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri 

orang mu‟min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya 

mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha 

Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59) 

Perhatikanlah, ayat ini memerintahkan para wanita untuk menutup seluruh tubuh mereka tanpa kecuali. Berkata As- 

Suyuthi rahimahullah, “Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup 

kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasatul Fadhilah, hal. 51, karya Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid 

rahimahullah) . 

Istri Nabi shallallahu‟alaihi wa sallam yang mulia: „Aisyah radhiyallahu‟anha dan para wanita di zamannya juga 

menggunakan cadar, sebagaimana penuturan „Aisyah radhiyallahu‟anha berikut: 

“Para pengendara (laki-laki) melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah 

shallallahu„alaihi wa sallam. Maka jika mereka telah dekat kepada kami, salah seorang di antara kami menurunkan 

jilbabnya dari kepalanya sampai menutupi wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, maka kami membuka wajah.” 

(HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain). 

 

Kedua: Dasar kewajiban mengangkat celana, jangan sampai menutupi mata kaki bagi laki-laki Muslim 

Banyak sekali dalil yang melarang isbal (memanjangkan pakaian sampai menutupi mata kaki), diantaranya sabda 

Rasulullah shallallahu‟alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu‟anhu: 

“Bagian kain sarung yang terletak di bawah kedua mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Al-Bukhori, no. 5787). 

Dan hadits „Aisyah radhiyallahu‟anha: 

“Bagian kain sarung yang terletak di bawah mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Ahmad, 6/59,257). 

 

Ketiga: Dasar kewajiban membiarkan janggut tumbuh bagi laki-laki Muslim 

Dari Ibnu Umar radhiyallahu „anhuma, beliau berkata: “Nabi shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan untuk 

memotong kumis dan membiarkan janggut.” (HR. Muslim no. 624). 

Wahyu Kresna El Haidar | http://elfaruq.wordpress.com 5 

 

Juga dari Ibnu Umar radhiyallahu „anhuma, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: 

“Berbedalah dengan orang-orang musyrik; potonglah kumis dan biarkanlah janggut.” (HR. Muslim no. 625). 

Dan masih banyak hadits lain yang menunjukkan perintah Rasulullah shallallahu‟alaihi wa sallam untuk membiarkan 

janggut tumbuh, sedang perintah hukum asalnya adalah wajib sepanjang tidak ada dalil yang memalingkannya dari 

hukum asal. 

 

Demikianlah penjelasan ringkas dari kami, semoga setelah mengetahui ini kita lebih berhati-hati lagi dalam menyikapi 

orang-orang yang mengamalkan sejumlah kewajiban di atas. Tentu sangat tidak bijaksana apabila kita 

mengeneralisir setiap orang yang nampak kesungguhannya dalam menjalankan agama sebagai teroris atau bagian 

dari jaringan teroris, bahkan minimal ada dua resiko berbahaya apabila seorang mencela dan membenci satu 

kewajiban agama atau membenci orang-orang yang mengamalkannya (disebabkan karena amalan tersebut): 

Pertama: Berbuat zhalim kepada wali-wali Allah, sebab wali-wali Allah adalah orang-orang yang senantiasa 

menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik perintah itu wajib maupun sunnah. Dan barangsiapa 

yang memusuhi wali Allah dia akan mendapatkan kemurkaan Allah „Azza wa Jalla. 

Allah Ta‟ala berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan 

tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”. (Yunus: 62-63) 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu‟anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu„alaihi wa sallam bersabda, 

“Sesungguhnya Allah Ta‟ala berfirman, „Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang 

terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada amal 

yang Aku wajibkan kepadanya. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunnah 

sampai Aku mencintainya. Apabila Aku sudah mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk 

mendengar, Akulah pandangannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk 

berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Kalau dia meminta kepada-Ku pasti akan Aku beri. Dan 

kalau dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti akan Aku lindungi.‟.” (HR. Bukhari, lihat hadits Arba‟in ke-38). 

Faidah: Para Ulama menjelasakan bahwa makna, “Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, 

Akulah pandangannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah 

kakinya yang dia gunakan untuk melangkah” adalah hidayah dari Allah Ta‟ala kepada wali-Nya, sehingga ia tidak 

mendengar kecuali yang diridhai Allah, tidak melihat kepada apa yang diharamkan Allah dan tidak menggunakan kaki 

dan tangannya kecuali untuk melakukan kebaikan. 

Kedua: Perbuatan tersebut bisa menyebabkan kekafiran, sebab mencela dan membenci satu bagian dari syari‟at 

Allah Jalla wa „Ala, baik yang wajib maupun yang sunnah, atau membenci pelakunya (disebabkan karena syari‟at 

yang dia amalkan) merupakan kekafiran kepada Allah Tabaraka wa Ta‟ala. 

Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pada pembatal keislaman yang kelima: 

“Barangsiapa membenci suatu ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu‟alaihi wa sallam walaupun dia 

mengamalkannya, maka dia telah kafir.” 

Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman: “Yang demikian karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang 

diturunkan Allah (Al-Qur‟an) lalu Allah menghapuskan amalan-amalan mereka.” (Muhammad: 9) 

Maka berhati-hatilah wahai kaum Muslimin. 

Dan kepada Ikhwan dan Akhwat yang telah diberikan hidayah oleh Allah untuk dapat menjalankan kewajiban- 

kewajiban di atas hendaklah bersabar dan tetap tsabat (kokoh) di atas sunnah, karena memang demikianlah 

konsekuensi keimanan, mesti ada ujian yang menyertainya. 

Dan wajib bagi kalian untuk senantiasa menuntut ilmu agama dan menjelaskan kepada ummat dengan hikmah dan 

lemah lembut, serta hujjah yang kuat agar terbuka hati mereka insya Allah, untuk menerima kebenaran ilmu yang 

berlandaskan al-Qur‟an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah, bukan pemahaman Teroris. Wallohul 

Musta‟an. 

 

Tanah Baru, Depok, 3 Ramadhan 1430 H. 

Sumber : 

Publikasi Ahlussunnah Jakarta  

http://ahlussunnah- jakarta.com/ artikel_detil. php?id=374 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar